TIMES JOMBANG, JOMBANG – Di dalam rumah sederhana di Desa Plosogeneng, Kecamatan/Kabupaten Jombang, deretan bingkai foto wisuda memenuhi dinding ruang tamu, salah satu anggota Polres Jombang.
Seperti galeri kecil, setiap foto bercerita tentang langkah panjang seorang polisi lalu lintas yang tak pernah puas menggali ilmu, Brigadir Polisi Endy Satya Rahmanto, 31 tahun.
Ia bukan dosen, bukan pula peneliti. Namun dalam sembilan tahun terakhir, anggota Satlantas Polres Jombang ini berhasil mengumpulkan 14 gelar akademik, sesuatu yang bagi banyak orang mungkin mustahil dilakukan di tengah kesibukan tugas kepolisian.
“Awalnya saya cuma ingin selesai sarjana hukum,” kenang Endy saat ditemui Sabtu (6/12/2025). Tatapannya berhenti pada foto wisudanya tahun 2019 di Universitas Kadiri (Uniska), ketika gelar S.H.resmi disandang.
Brigadir Endy Satya Rahmanto, anggota Satlantas Polres Jombang saat menunjukan salah satu ijazah aslinya. (FOTO: Rohmadi/TIMES Indonesia)
“Tapi setelah itu, kok rasanya masih ada yang kurang. Seperti ada ruang kosong yang minta diisi ilmu baru,” tambahnya.
Belajar di Antara Waktu yang Tak Terlihat
Sejak saat itu, ritme hidup Endy berubah total. Ia mulai memanfaatkan celah-celah waktu yang bagi banyak orang mungkin tak dianggap penting: sela dinas, jam istirahat, hingga malam yang sunyi.
Kunci strateginya adalah program alih kredit (RPL – Rekognisi Pembelajaran Lampau). Sistem ini membuatnya bisa kuliah di beberapa kampus sekaligus tanpa harus mengulang materi serupa.
“Orang lain melihat waktu lengang sebagai waktu luang. Saya melihatnya sebagai kesempatan,” ujarnya.
Strategi itu membuatnya melesat. Ia merampungkan gelar Akuntansi dan Magister Administrasi Publik di Universitas W.R. Supratman Surabaya. Di saat yang hampir bersamaan, ia menuntaskan Magister Hukum dan S1 Manajemen di Uniska.
Endy kemudian menapaki dunia Sistem Informatika di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), hingga Kenotariatan dan Doktor Ilmu Hukum di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula). Bahkan ia merambah Hubungan Internasional di Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani).
Puncaknya terjadi pada 2025, ketika dalam satu tahun ia menyelesaikan tiga gelar S1 sekaligus: Psikologi (Undar Jombang), Keperawatan (ITSKes ICME Jombang), dan Ilmu Komunikasi (Universitas Terbuka).
“Yang paling menantang Psikologi dan Keperawatan. Dua-duanya harus tatap muka penuh, jadwal tabrakan terus. Tapi ya harus selesai,” tuturnya sambil tersenyum kecil.
Henti Kuliah, Demi Tugas Negara
Ada satu gelar yang belum berhasil ia tuntaskan yakni Kedokteran Gigi di Universitas Kadiri. Namun bukan karena menyerah. Pada 2024, ketika banyak mahasiswa sibuk memikirkan skripsi, Endy justru menerima kabar bahwa ia ditugaskan sebagai Pasukan Perdamaian PBB (United Nations Peacekeepers) di Afrika Tengah. Tanpa ragu, ia mengajukan cuti kuliah.
“Itu perintah negara. Bagi saya, tugas sebagai polisi nomor satu. Kalau harus memilih, kuliahlah yang berhenti dulu,” tegasnya.
Ia baru kembali ke Indonesia pada Oktober 2025, membawa pengalaman, cerita medan, dan rasa syukur karena bisa menjalankan amanah besar.
Ilmu untuk Mengabdi, Bukan Sekadar Gelar
Di balik puluhan ijazah yang kini tersusun rapi, ada perjuangan finansial yang tak ringan. Endy mengakui, ia pernah menjadikan SK pengangkatan polisi sebagai jaminan kredit untuk membiayai kuliahnya, sesuatu yang ia lakukan tanpa ragu.
“Kalau benar-benar kepepet, ya minta bantuan ibu,” katanya lirih.
Namun bagi Endy, setiap gelar memiliki fungsi, bukan sekadar kebanggaan. Ia mempelajari psikologi untuk memahami masyarakat. Komunikasi untuk penyuluhan. Keperawatan untuk penanganan pertama di lapangan.
Hukum sebagai fondasi tugas kepolisian.
“Ilmu itu saya pakai semua. Harus ada manfaatnya, bukan hanya menambah nama panjang di belakang seragam,” ujarnya.
Kini, setelah kembali dari penugasan PBB dan menyelesaikan 14 gelar, mimpi terdekat Endy adalah mengikuti Sekolah Perwira Polri. Setelah itu, ia berencana kembali menyelesaikan studi kedokteran giginya yang sempat terhenti.
Masih Banyak Kelas yang Menunggu
Di banyak sudut rumah, buku-buku tebal masih bertumpuk. Tanda bahwa perjalanan akademiknya belum usai. Mungkin ruang kelasnya akan selalu berpindah, dari kampus ke kampus, bahkan ke medan internasional. Namun satu hal tetap ia genggam yakni Belajar adalah bentuk pengabdian.
“Saya ingin membuktikan bahwa tugas sebagai polisi dan semangat belajar bisa berjalan bersama. Selama kita mau berusaha, ilmu bisa hidup berdampingan dengan pengabdian,” tutupnya.(*)
| Pewarta | : Rohmadi |
| Editor | : Imadudin Muhammad |