TIMES JOMBANG, JOMBANG – Sejak tanggal 17 Mei 2002, Indonesia memperingati Hari Buku Nasional di setiap tahunnya. Terhitung telah 23 tahun peringatan tersebut dirayakan sebagai gerakan bangkitnya literasi di Indonesia. Literasi memiliki peranan sangat penting dalam membangun sumber daya manusia di Indonesia.
Apalagi di era digital dan kecanggihan kecerdasan buatan seperti Artificial Intelligence (AI) saat ini idealnya harus diimbangi dengan kecerdasan manusia itu sendiri. Jangan sampai anak-anak hanya menjadi market produk dari sebuah kecanggihan teknologi saja, namun juga harus tumbuh menjadi manusia yang tetap produktif di tengah-tengah gempuran teknologi serba instan dan cepat.
Ketergantungan terhadap teknologi instan bisa saja menghambat anak-anak dalam memahami dan menganalisis sesuatu. Otak menjadi tumpul, kreativitas menurun, dan justru ancaman stress meningkat. Salah satu cara agar kualitas meningkat adalah meningkatkan daya literasi manusia itu sendiri.
Hal itu bisa saja dimulai salah satunya dengan membongkar krisis literasi pada anak di Indonesia. Krisis Literasi bukan berarti anak-anak di Indonesia tidak bisa membaca, namun yang dimaksud krisis adalah minimnya kemampuan anak-anak dalam mencerna dan memahami dan mengulas kembali apa yang telah dibaca.
Menurut UNESCO Institute for Statistics (UIS), dari 208 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-100 dengan literasi 95,44%. Ternyata posisi Indonesia masih kalah dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Filipina 96,62% di posisi ke-88, Brunei urutan ke-86 dengan 96,66% dan Singapura urutan ke-84 dengan 96,77% (detik.com, 16-07-2024).
Survei GoodStats pada Januari-Februari 2025 juga mengungkap bahwa hanya satu dari lima orang yang rutin membaca buku setiap hari. Hanya 20,7% responden yang membaca buku setiap hari, sementara 17% responden hanya membaca sesekali, 15,4% jarang membaca buku, 24,6% membaca buku setiap bulan, dan 22,3% lebihnya membaca buku setiap minggu.
Di Indonesia, membaca hanya dijadikan sebuah teknis bukan sebuah budaya atau kebutuhan pokok dalam kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh Hardjoprakosa (2005) menyatakan bahwa yang menyebabkan rendahnya minat baca yaitu para orang tua tidak memberikan dorongan kepada anak untuk mengutamakan membeli buku daripada mainan.
Fenomena saat ini, sejak dini anak telah diberikan akses untuk menguasai media sosial seperti YouTube, YouTube short, maupun TikTok. Fenomena tersebut juga memiliki dampak mengurangi fokus anak dalam hal belajar juga akan mendorong anak lebih emosional dan tantrum.
Minimnya akses buku anak-anak juga menjadi penting diperhatikan. Sejak usia dini, anak-anak dikenalkan dengan berbagai macam cara metode untuk bisa membaca dan menulis.
Namun, minat baca anak-anak ketika memasuki usia sekolah dasar bisa dikatakan menurun. Bisa jadi buku-buku ajar yang selama ini diterima oleh anak-anaknya kurang variatif dan kurikulum yang kurang berkesinambungan.
Anak-anak adalah masa depan bangsa. Anak-anak yang terliterasi dengan baik sejak dini akan lebih memiliki kesempatan untuk belajar dengan lebih berkualitas. Sehingga pendidikan nasional pun juga akan ikut hidup.
Literasi sebagai Gaya Hidup Sejak Dini
Krisis Literasi pada anak bukanlah hal yang sepele. Membangun infrastruktur lambat Laun akan dimakan usia tetapi membangun manusia lambat laut akan semakin bermanfaat. Berikut hal-hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan pengenalan literasi pada anak sejak usia dini.
Pertama, Kenalkan Buku Sedini Mungkin. Mengenalkan buku sedini mungkin bisa dilakukan ketika seorang ibu sedang hamil. Ibu hamil disarankan untuk selalu berkomunikasi dengan sang buah hati sejak dalam kandungan.
Kedua, Mendorong Budaya Membaca di Rumah dan Sekolah. Selain di sekolah, budaya membaca juga penting dilakukan di rumah. Hal ini dimulai dari orang tua yang memberikan contoh kepada anak-anak dengan membaca buku bersama atau sekedar membacakan sebuah cerita seru. Membaca bersama anak juga dapat mempererat kedekatan emosional antara orang tua dan anak.
Ketiga, Penggunaan Gawai Secara Sehat. Jika dilarang sepenuhnya menggunakan gawai atau handphone, maka anak akan cenderung frustasi. Maka bisa diberikan asalkan dengan batasan waktu tertentu. Orang tua juga dapat merekomendasikan konten-konten positif melalui gawai seperti mengenalkan e-book, atau konten edukatif lainnya.
Keempat, Maksimalkan Ruang Baca. Selain di rumah dan sekolah, kegiatan membaca juga sebetulnya dapat dilakukan di mana saja. Semakin banyak akses atau tempat membaca, maka semakin sering pula orang akan membaca.
Kelima, Dukungan Pemerintah. Kebijakan pemerintah harus berpihak kepada pembangunan manusia yang berkelanjutan. Salah satunya mengenalkan budaya literasi pada anak-anak.
Bagaimana buku anak mudah diakses, bagaimana melahirkan banyak penulis buku anak-anak, bagaimana melahirkan banyak pegiat literasi, dan bagaimana pemerintah menghargai semua pihak yang terlibat dalam membangun budaya literasi di Indonesia ini.
Tanggung jawab kepada anak-anak tentu saja bukan hanya tanggung jawab individu, namun juga tanggung jawab secara kolegial. Ada masyarakat yang mendukung dan pemerintah yang andil dengan kebijakan yang terukur dampak manfaatnya.
Oleh karenanya, di Hari Buku Nasional yang diperingati setiap tanggal 17 Mei sekarang ini adalah momentum yang tepat untuk kembali memperkuat gerakan literasi Nasional.
***
*) Oleh : Rifatuz Zuhro, Pengurus Lembaga Ta'lif Wan Nasyr MWCNU Diwek Jombang dan Penulis Buku Perempuan Rumit.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |