TIMES JOMBANG, JOMBANG – Muktamar Turats Nabawi (MUTUN) 2025 yang digelar Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, menegaskan pentingnya melihat persoalan lingkungan hidup melalui perspektif fikih kontemporer.
Forum ini melahirkan sejumlah rekomendasi strategis bagi pemerintah dan masyarakat, mulai dari isu hilirisasi sumber daya alam, Undang-Undang Cipta Kerja, hingga penguatan konsep Wakaf Hijau.
Rekomendasi tersebut merupakan hasil Konferensi Internasional ECO Sunnah yang berlangsung di Gedung KH M Yusuf Hasyim Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Sabtu (13/12/2025).
Hilirisasi Dinilai Sah, Asal Tidak Merusak Lingkungan
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, KH Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin, menjelaskan bahwa forum sepakat hilirisasi pada prinsipnya diperbolehkan dalam Islam.
Pengolahan bahan mentah menjadi produk bernilai tambah dinilai sejalan dengan tujuan syariat untuk menghadirkan kemaslahatan umum, termasuk penguatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
“Hilirisasi itu pada dasarnya boleh dan bahkan bermanfaat,” ujar Gus Kikin usai kegiatan.
Namun demikian, para peserta forum memberi catatan kritis. Praktik hilirisasi di lapangan kerap menimbulkan dampak ekologis serius, mulai dari pencemaran lingkungan, deforestasi, hingga konflik dengan masyarakat adat.
Dalam pandangan fikih, aktivitas yang menimbulkan mafsadah lebih besar dibanding maslahatnya tidak dapat dibenarkan. Eksploitasi sumber daya alam dipahami sebagai pengelolaan harta milik publik yang hanya sah jika membawa manfaat kolektif dan mencegah kerusakan.
Karena itu, forum merekomendasikan penguatan regulasi berwawasan lingkungan, peningkatan partisipasi publik yang inklusif, pengawasan Amdal yang lebih ketat, penegakan hukum tegas, kewajiban penggunaan teknologi ramah lingkungan, rehabilitasi pascatambang, serta penerapan prinsip ESG (Environment, Social, Governance) dalam seluruh proses industri.
Kritik terhadap UU Cipta Kerja
Forum MUTUN juga menyoroti Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan hidup. Penyederhanaan perizinan dikhawatirkan mengurangi transparansi dan mengabaikan prinsip kehati-hatian ekologis.
“Dalam perspektif ekoteologi, alam adalah amanah dari Tuhan. Regulasi yang menempatkan investasi di atas kelestarian lingkungan berpotensi mengingkari peran manusia sebagai khalifah fil ardh,” ungkap Gus Kikin.
Wakaf Hijau Jadi Solusi Alternatif
Di sisi lain, forum memberikan apresiasi terhadap berkembangnya inisiatif keagamaan berbasis pelestarian lingkungan, salah satunya konsep Wakaf Hijau atau Green Wakaf. Konsep ini memperluas makna wakaf yang selama ini identik dengan masjid atau lembaga pendidikan, menjadi wakaf untuk konservasi hutan, perlindungan satwa, dan penghijauan.
“Wakaf lingkungan hukumnya sah dan sangat dianjurkan. Manfaatnya tidak hanya dirasakan manusia, tetapi juga ekosistem secara keseluruhan, sejalan dengan maqashid syariah,” jelasnya.
Sejumlah daerah seperti Aceh Besar, Bandung, dan Bogor telah mempraktikkan hutan wakaf. Masyarakat diperbolehkan memanfaatkan hasil hutan secara berkelanjutan selama tidak merusak fungsi konservasi.
Gus Kikin menambahkan, pembahasan isu lingkungan dalam Bahtsul Masail ini terpicu oleh maraknya bencana alam yang belakangan melanda berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh.
“Forum berharap pembangunan ke depan tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga menjamin keadilan antar-generasi dan kelestarian alam sebagai titipan Ilahi,” tegasnya.
Menjembatani Turats dan Krisis Ekologi
Rekomendasi ini merupakan hasil diskusi Bahtsul Masail santri dalam Muktamar Turats Nabawi 2025 yang digelar pada 10–11 Desember. Forum secara khusus mengangkat isu-isu ekologis kontemporer yang dinilai semakin mendesak, mulai dari kebijakan negara hingga pengembangan ekonomi syariah hijau.
Ketua Panitia, Dr Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, menegaskan bahwa forum ini bertujuan menjembatani khazanah keilmuan Islam klasik dengan realitas krisis lingkungan masa kini.
“Kita membutuhkan kerangka fikih yang tidak hanya normatif, tetapi juga aplikatif dan responsif terhadap kerusakan bumi,” ujarnya.
Seperti yang diketahui, dalam forum tersebut, peserta membahas empat isu strategis nasional, di antaranya analisis Undang-Undang Cipta Kerja dalam perspektif kehati-hatian syariah, serta kajian mendalam tentang hilirisasi sumber daya alam dan tanggung jawab ekologis jangka panjang yang sering luput di balik narasi pertumbuhan ekonomi. (*)
| Pewarta | : Rohmadi |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |