TIMES JOMBANG, BANYUWANGI – Di pentas peradaban global Indonesia dikenal sebagai negara plural dan multikultural. Di Indonesia terdapat berbagai macam suku, etnis, aliran kepercayaan dan agama yang majemuk. Di samping itu di Indonesia juga terdapat beragam bahasa dan budaya yang kaya dan hampir tak dapat dihitung jumlahnya.
Keberagaman dan kebhinekaan Indonesia menjadi satu tantangan tersendiri bagi para pendakwah untuk mengenalkan ajaran agamanya masing-masing di tengah pluralitas budaya yang begitu tinggi tersebut. Dalam konteks Indonesia yang majemuk tentunya juga tidak mudah dalam upaya mendakwahkan Islam yang moderat dan toleran.
Inilah yang menjadi salah satu tantangan dakwah dari para Gawagis dari berbagai pesantren yang menjamur dan marak di era society 5.0 saat ini. Santri era generasi society 5.0 mengenal para Gawagis alim dan keren, seperti Gus Baha’ Rembang, Gus Kautsar Ploso, Gus Miftah Ora Aji, Gus Iqdam Sabilu Taubah (ST) Blitar untuk menyebut beberapa nama dan lain-lainnya.
Para Gawagis di atas mendakwahkan dan mengenalkan Islam di kalangan milenial dengan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti. Tentu dengan segmen dan tingkat masing-masing audiens yang dihadapinya.
Mereka mendakwahkan Islam sebagai agama yang menebar kasih sayang dan cinta. Islam yang mencintai, bukan membenci. Islam yang menghargai, bukan mencaci. Islam yang merangkul, dan bukan memukul. Intinya, mereka mendakwahkan Islam rahmatan lil alamin.
Dalam kajian Islamic Studies dikenal beberapa bentuk kajian hukum Islam yang menarik untuk dicermati. Menurut Imam Musbikin (2013), mengutip Atho Mudzhar, terdapat tiga bentuk studi hukum Islam, yakni penelitian hukum Islam sebagai doktrin asas, penelitian hukum Islam normatif, dan penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial.
Sementara itu Mochamad Sodik (2014) membagi studi hukum Islam dalam empat kajian, sebagai berikut;
Pertama, penelitian hukum Islam doktrin asas, yang dibagi ke dalam dua bagian, yakni nilai-nilai dasar filosofis (al-Qiyam al-Asasiyah) seperti al-Maslahah, al-‘Adalah, al-Musawah, Maqasid al-Syari’ah, Filsafat Hukum Islam, dan lain-lain; dan asas-asas hukum Islam atau doktrin hukum umum atau norma tengah (al-Ushul al-Kulliyyah) yang terdiri dari al-Qawaid al-Fiqhiyyah dan al-Nadzariyyat al-Fiqhiyyah.
Kedua, penelitian hukum Islam normatif yang sasaran studinya adalah hukum Islam sebagai norma atau aturan, baik yang masih dalam bentuk nash al-hukmi (ayat ahkam dan hadits ahkam) maupun produk pemikiran hukum Islam seperti kitab-kitab fikih (mazhab empat, Syi’ah maupun Ahmadiyah dan lain-lain).
Fatwa Ulama (fatwa MUI, NU, Muhammadiyah), Qanun (Perundang-undangan yang berlaku di negeri Muslim: UU Perkawinan, UU Zakat, UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU PDKRT, KHI, KHEI, Perda Syari’ah dan lain-lain).
Ketiga, penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial, atau yang dikenal sebagai studi hukum Islam sosiologis. Sasaran studinya adalah masalah interaksi antar sesama umat manusia, baik antar sesama muslim maupun antara muslim dengan non-muslim, di sekitar persoalan hukum Islam.
Persoalan yang digeluti misalnya politik perumusan dan penetapan hukum Islam, respon masyarakat muslim terhadap masalah anak-anak, perempuan, difabel, kelompok minoritas, dan masyarakat rentan lainnya. Beberapa tema yang dapat diambil misalnya pengaruh konsep ragam jilbab terhadap perilaku masyarakat muslim.
Perubahan struktur dan relasi gender di masyarakat terkait konsep waris, perbedaan sikap masyarakat terhadap kehadiran UU Pornografi dan Pornoaksi, studi tentang respon terhadap dinamika hukum Islam dari para ulama di MUI, Lembaga Tarjih Muhammadiyah, LBMNU, Dewan Syari’ah Nasional (DSN), Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia dan sejenisnya.
Keempat, penelitian hukum Islam sebagai gejala budaya (studi hukum Islam kultural atau antropologis). Sasaran studinya adalah bentuk penghayatan dan perilaku hukum Islam suatu komunitas atau masyarakat muslim, serta tingkat kesadaran hukum mereka.
Beberapa tema yang dapat diambil misalnya bentuk penghayatan dan pengamalan hukum Islam “komunitas Waria”di Pesantren Waria Yogyakarta, anak jalanan (anjal) di Yayasan Diponegoro, kaum difabel di UIN Sunan Kalijaga, Islam “Wetu Telu” Sasak dan sebagainya.
Tipologi dan bentuk kajian Islam secara akademik tersebut dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam membaca dan menafsir maraknya model dakwah Islam di era kekinian. Lebih fokusnya dalam memotret model dakwah yang digunakan oleh para “Gus” yang berasal dari berbagai pesantren yang ada di Indonesia.
Pertama, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih dikenal dengan Gus Baha’. Beliau adalah Pengasuh dari Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA di desa Narukan, Kec. Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Beliau dikenal sebagai seorang Kiai dan Gus yang sangat Alim dalam bidang Fiqh al-Qur’an dan Tafsir.
Jika mengikuti secara mendalam kajian dan pengajiannya di berbagai media sosial, maka para pendengarnya akan larut dengan sendirinya dan tanpa disadari seakan-akan dibawa masuk ke lorong-lorong dan sudut-sudut keilmuan Islam yang begitu luas pada abad klasik Islam.
Kiai dan Gus yang satu ini mampu menyajikan dalam satu majelis pengajiannya beragam keilmuan Islam yang membuat pendengarnya hanya mampu bergumam “Subhanallah”. Al-Qur’an dalam kajian beliau menjadi menarik dan dapat dibedah melalui ragam keilmuan Islam yang komplit, holistik dan komprehensif.
Kedua, KH Abdurrahman Al-Kautsar atau yang lebih dikenal di kalangan generasi milenial sebagai Gus Kautsar dari Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri, Jawa Timur. Seperti diakuinya di berbagai ceramah dan pengajiannya, beliau tidak memiliki akun di media sosial.
Meski begitu, daya tarik kealimannya mampu membawa magnit di kalangan generasi muda dan santri milenial untuk mengabadikan, baik pepatah-pepatah, syair-syair dan kata-kata mutiara hikmahnya di media sosial. Style dakwahnya yang lugas, tegas, dan seringkali dibumbui motivasi yang membangun membuat audiens terbius dalam keindahan ragam syi’ir karya Imam Syafi’i dan pepatah Arabnya yang kaya itu.
Tak heran jika para santri dan pengagumnya di berbagai akun media sosial—TikTok misalnya—menyebut Gus satu ini sebagai “Singa Al-Falah-nya Ploso”.
Ketiga, Gus Miftah dari Pondok Pesantren Ora Aji Yogyakarta. Gus Miftah dikenal di kalangan milenial sebagai Gus Nyentrik yang memiliki keistimewaan mampu berdakwah di dunia malam. Sebuah model dan lahan dakwah yang tidak sembarang orang bisa melakukannya.
Kegigihannya dalam berdakwah di dunia malam tersebut tak perlu diragukan lagi. Style dakwah yang cool, funny, dan penuh fresh jokes mampu menarik perhatian berbagai kalangan dalam setiap ceramahnya di berbagai wilayah di Indonesia.
Keempat, Gus Muhammad Iqdam Khalid atau yang lebih dikenal dengan Gus Iqdam, pendiri Majelis Ta'lim Sabilu Taubah. Ia juga pengurus dari Pondok Pesantren Mambaul Hikam II di Desa Karanggayam, Kabupaten Blitar. Dalam mendakwahkan Islam yang rahmatan lil alamin, Gus Iqdam mengenalkan istilah-istilah yang popular dan familiar di kalangan generasi muda seperti ST Nyel, dekengan Pusat, wonge teko, garangan, tolol, dan sejenisnya.
Sebuah istilah yang baru dan menarik untuk kalangan anak jalanan (anjal) di Indonesia. Dan hasilnya betul-betul membuat netizen tersedot oleh pesona dakwah yang ditampilkannya tersebut. Sabilu Taubah (ST) yang digagasnya menjadi majelis dalam mendakwahkan moderasi Islam dan Islam yang menghargai sesama di tengah kebhinekaan umat yang sangat tinggi di negara ini.
Gagasan dan gerakan Gawagis tersebut mengingatkan kita pada salah satu wacana dan gerakan filsafat yang dikenal dengan istilah Postmodernisme. Post Modernisme adalah sebuah pandangan, kerangka pemikiran, atau aliran filsafat yang berkaitan dengan sikap dan cara berpikir yang muncul di abad dua puluh dari para pemikir dunia yang tentu saja keberadaannya sangat mempengaruhi perkembangan dan kebudayaan manusia.
Post modernisme (penganut post-modernisme) lebih berorientasi terhadap kritik budaya sehingga lebih luas cakupannya, sedangkan kaum post-struktural lebih menekankan pada metode dan masalah epistemologi, seperti dekonstruksi, bahasa, wacana, makna, dan simbol (Rosenau, 1992: 3).
Beberapa tokoh pemikir teori sosial post modernisme di antaranya adalah Jean Francois Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, dan Friedrich Jameson.
Filsafat postmodernisme mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan filsafat modern yakni timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi), dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
Ciri yang paling dominan dari pemikiran postmodernisme di atas mengacu kepada ide dasar yang ingin mengurangi kekaguman serta memberi kritik terhadap suatu ilmu pengetahuan. Hal ini dapat diartikan ia menunjukkan adanya pergeseran yang cukup signifikan atas era modernitas ke era postmodernisme.
Jean Francois Lyotard terkenal dengan gagasannya mengenai penolakan narasi besar (grand narasi atau meta-narasi), yaitu suatu cerita besar yang memiliki legitimasi untuk menyatukan, universal dan total. Penolakan narasi besar diartikan sebagai penolakan terhadap universalitas, penyatuan dan totalitas.
Model dakwah dan format pengajaran Islam yang digagas oleh para Gawagus tersebut seakan-akan ingin menunjukkan bahwa mendakwahkan Islam di era kekinian tidak cukup dengan satu narasi besar (grand narative) atau satu metode semata. Melainkan harus dengan beberapa metode dan pendekatan sesuai dengan kadar budaya, kultur dan rasio manusia saat ini.
***
*) Oleh: Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |