TIMES JOMBANG, JOMBANG – Media sosial saat ini menjadi wadah yang asik untuk menyampaikan pendapat. Dewasa ini kita diajak untuk tidak bingung mencari wadah apa yang mudah untuk menyuarakan isi kepala. Beragamnya media sosial dengan keunggulannya masing-masing, membuat kita bisa lebih mudah untuk memilih media sosial mana yang selayaknya digunakan sesuai fungsinya.
Bisa penulis sebut, jika kehidupan saat ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama Dunia Nyata, dan kedua Dunia Maya. Secara esensi, dunia nyata adalah kehidupan sehari yang kita jalani sehari-hari. Sementara dunia Maya adalah multiverse lain yang kini mulai kita jelajahi. Komunikasi tidak hanya dua arah, melainkan bisa dari berbagai arah. Satu cuitan, bisa memancing ribuan komentar. Jangan kaget, jika media sosial bisa menggerakkan opini masyarakat untuk merubah suatu keadaan.
Coba saja lihat kasus pembunuhan Brigadir J dan penganiayaan Mario Dandy. Dari satu kasus, bisa merembet ke berbagai oknum dan sektor. Penulis sebut fenomena ini sebagai gerakan aktivisme media sosial. Gerakan inilah yang memunculkan fenomena Cancel Culture. Fenomena ini yang menjadi manuver masyarakat sipil menagih keadilan.
Melansir nytimes.com, fenomena ini sejatinya bermula pada 1991, sebelum maraknya penggunaan media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Saat itu, ada ungkapan baru dalam bahasa gaul Tionghoa: renrou sousuo, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “pencarian daging manusia”.Istilah tersebut mengacu pada upaya kolektif yang dilakukan oleh pengguna internet untuk menemukan informasi tertentu.
Umumnya, hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu yang diduga melakukan kesalahan atau penyimpangan moral. Setelah pelanggar diidentifikasi dan detail pribadi mereka terungkap secara online, mereka diburu, dikenakan kecaman verbal, dan dikeluarkan dari komunitas. Berawal dari situ, sejarah Cancel Culture inimulai berkembang sejak tahun 2017 dan semakin populer hingga saat ini.
Menurut Kimberly Foster, pendiri situs web For Harreit, ia menjelaskan, fenomena ini adalah istilah yang dapat digunakan untuk berbagai tindakan, akibat mengatakan hal-hal yang menurut orang lain tidak menyenangkan, katanya seperti dilansir bbc.com. Alih-alih memengaruhi masyarakat umum, fenomena ini cenderung memengaruhi tokoh publik seperti selebritas dan pemimpin sosial politik. Selain orang-orang populer.
Ketika para tokoh populer itu melakukan hal buruk, atau mengatakan sesuatu yang menyinggung, kemungkinan besar resiko yang akan terjadi adalah boikot massal yang dilakukan oleh masyarakat melalui media sosial Boikot ini tidak hanya membuat mereka merasa dikucilkan secara sosial, tetapi juga menyebabkan hilangnya reputasi, karier yang sulit dipulihkan, dan terungkapnya kehidupan pribadi mereka. Parahnya, fenomena ini merupakan salah satu fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari media sosial dan cara bermedia sosial masyarakat.
Kerap kali terjadi, netizen justru berbalik menyerang pribadi si pembuat opini, terlepas dari ide yang dikemukakan, atau yang sering disebut ad hominem. Jika hal ini sudah terjadi, biasnya akan berlanjut ke Doxxing. Hal pertama yang dilakukan yaitu dengan mengungkapkan data pribadi, seperti tempat bekerja, latar belakang pendidikan dan bagaimana jejak keluarganya dan jejak media sosialnya di masa lalu.
Studi oleh Rob Henderson, menyebut, terlibat dalam fenomena Cancel Culture akan meningkatkan status sosial dengan menjatuhkan orang lain, serta memberikan peluang baru di tangga sosial. Hal itu terkadang menjadi motivasi besar bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dari gerakan aktivisme media sosial yang bisa menimbulkan Fenomena Cancel Culture ini dikhawatirkan akan banyak mempengaruhi ruang lingkup demokrasi menjelang Pemilu 2024.
Melansir tirto, pengamat politik dari Universitas Jember, M. Iqbal, menilai, kritik publik merupakan bentuk penilaian sosial publik dengan pendekatan Cancel Culture. Kata Iqbal, fenomena ini adalah upaya warganet untuk menyingkirkan seseorang dari interaksi dan tatanan sistem sosial akibat perilaku pejabat atau tokoh yang dianggap telah melampaui norma sosial, seperti melenturkan narsisme atau pamer. kekayaan.
Berbagai bentuk fenomena ini antara lain doxing atau “menguliti dan mengekspos sisi gelap” seseorang karena pola perilakunya yang berlebihan. Semuanya dilakukan karena netizen menilai tindakan pejabat tersebut sudah keterlaluan. Selain itu penyataan Iqbal, penulis juga coba mengutip apa yang disampaikan pakar komunikasi Spanyol, Manuel Castell dalam menandai fenomena ini.
Castell menandai fenomena ini dalam sebuah karya yang fenomenal yang keluar pada tahun 2012 berjudul 'Networks of Outrage and Hope Social Movements in the Internet Age'. Menurutnya, fenomena itu dikarenakan adanya kemarahan disertai harapan publik. Hal itulah yang kemudian menandai maraknya gerakan aktivisme gerakan sosial di internet. Tujuannya? Untuk menumbuhkan rasa keadilan.
Melihat, era digital, media sosial saat ini semakin masif. Besarnya populasi, bisa menjadi hal positif bahkan negatif, tapi, itu semua tergantung pada kecerdasan digital yang dimiliki oleh warganet pengguna media sosial. Jika nantinya, warganet pemilik media sosial minum etika dan budaya digital, arena pemilu akan dipenuhi dengan hal-hal yang tidak menyejukkan, contohnya ujaran kebencian.
Bagi penulis, ini bisa jadi pertaruhan. Ujian sesungguhnya untuk warganet perihal mendewasakan berdemokrasi di Indonesia. Menurut penulis, demokrasi di Indonesia bisa dilihat dari bagaimana cara warganetnya menggunakan media sosial dengan bijak. Seperti contoh menyebarkan ujian kebencian, hanya akan menimbulkan perkara lain di kemudian hari yang akibatnya akan fatal untuk demokrasi Indonesia.
***
*) Oleh: Anggit Puji Widodo, Jurnalis dan Pegiat Literasi ARHA Institute Jombang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |