TIMES JOMBANG, JOMBANG – Di tengah kebisingan ruang publik dan gegap gempita dunia akademik yang kian dipenuhi panggung pencitraan, sebuah peristiwa yang berlangsung nyaris tanpa sorotan justru menghadirkan gema makna yang jauh lebih panjang.
Tasyakuran atas pencapaian gelar Guru Besar Rektor Universitas Darul ’Ulum (Undar) Jombang, Prof. Dr. H. Amir Maliki Abitolkha, M.Ag., yang digelar khidmat di Masjid Al-Musta’in pada Sabtu (20/12/2025), menjadi cermin bening untuk menatap arah pendidikan tinggi nasional: ke mana ilmu pengetahuan hendak dibawa, dan bagaimana kepemimpinan akademik seharusnya dijalani.
Tidak ada ledakan euforia dalam peristiwa ini. Tidak pula parade klaim keberhasilan yang lazim mengiringi capaian akademik di ruang publik. Justru dalam kesederhanaan itulah pesan paling jujur lahir. Wakil Rektor I Undar, Dr. H. Abdul Rouf, M.Ag., menyebut proses tersebut sebagai “perjuangan senyap” sebuah ungkapan yang mengandung makna dalam: kerja panjang, konsistensi ilmiah, dan kesabaran akademik yang dijalani tanpa gemar mengumumkan diri.
Istilah “perjuangan senyap” terasa relevan ketika diletakkan dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia hari ini. Akademia kian dikepung oleh logika angka dan target: publikasi harus terukur, sitasi harus meningkat, peringkat institusi harus menanjak.
Semua itu penting, bahkan niscaya. Namun ketika angka-angka berdiri sendiri tanpa ditopang integritas dan kedalaman proses, dunia akademik berisiko berubah menjadi industri prestasi instan ramai di permukaan, rapuh di fondasi.
Dalam situasi seperti ini, keteladanan justru menjadi barang langka. Gelar akademik kerap diperlakukan sebagai simbol status, bukan sebagai amanah intelektual. Publikasi dikejar demi memenuhi kewajiban administratif, bukan untuk memperkaya khazanah keilmuan. Jabatan struktural diraih, tetapi laku akademik perlahan ditinggalkan. Kampus pun kehilangan figur yang bisa dijadikan rujukan etis dan ilmiah sekaligus.
Pencapaian Guru Besar yang diraih melalui kerja sunyi menjadi kritik kultural terhadap kecenderungan tersebut. Ia mengingatkan bahwa keunggulan akademik sejati tidak lahir dari kegaduhan, melainkan dari proses panjang yang dijalani dengan disiplin dan tanggung jawab.
Gelar profesor bukan mahkota yang dikenakan di kepala, melainkan beban moral yang dipikul dalam sunyi: meneliti dengan jujur, menulis dengan tekun, dan membimbing dengan kesabaran.
Lebih jauh, peristiwa ini menyingkap persoalan lain yang tak kalah krusial: krisis kepemimpinan akademik. Tidak sedikit pimpinan perguruan tinggi yang terjebak dalam rutinitas manajerial hingga tercerabut dari akar tradisi ilmiah.
Jabatan struktural kerap dijadikan alasan untuk berhenti membaca, meneliti, dan menulis. Akibatnya, kepemimpinan kehilangan daya teladan, dan kampus menjelma ruang administratif yang miskin nyala intelektual.
Undar Jombang memperlihatkan kemungkinan yang berbeda. Seorang pemimpin perguruan tinggi tetap dapat menapaki puncak karier akademik tanpa meninggalkan tanggung jawab kelembagaan.
Teladan ini penting, bukan hanya bagi internal kampus, tetapi juga bagi ekosistem pendidikan tinggi nasional. Kepemimpinan akademik seharusnya tidak berhenti pada kecakapan mengelola anggaran dan birokrasi, melainkan juga pada kemampuan menjaga api keilmuan tetap menyala.
Keteladanan semacam ini memiliki dampak yang bersifat struktural. Kehadiran guru besar bukan sekadar menambah daftar nama, tetapi memperkuat budaya akademik secara keseluruhan: riset yang lebih bermutu, pembimbingan yang lebih serius, dan atmosfer ilmiah yang mendorong dosen muda untuk tumbuh. Dalam jangka panjang, inilah yang membangun kualitas perguruan tinggi secara organik, bukan artifisial.
Pilihan ruang simbolik juga patut dicermati. Tasyakuran yang digelar di masjid menegaskan bahwa capaian akademik tidak dipisahkan dari nilai spiritual. Di tengah kecenderungan memisahkan ilmu dari etika, atau prestasi dari makna, pesan ini terasa penting. Ilmu pengetahuan yang tumbuh tanpa kesadaran moral mudah tergelincir menjadi alat kekuasaan. Sebaliknya, ilmu yang berpijak pada nilai memiliki peluang menjadi jalan kemaslahatan.
Bagi Indonesia yang tengah berupaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi dan daya saing global, pelajaran dari Undar Jombang layak direnungkan. Kita tidak hanya membutuhkan regulasi dan indikator kinerja, tetapi juga figur yang hidup dalam nilai. Kita tidak kekurangan profesor secara administratif, tetapi sering kekurangan keteladanan yang menghidupkan makna profesi akademik itu sendiri.
Tasyakuran Guru Besar di sebuah kampus di Jombang mungkin tampak sebagai peristiwa lokal. Namun nilai yang dikandungnya berskala nasional. Ia mengajarkan bahwa di tengah kebisingan zaman, kerja sunyi masih mungkin dilakukan.
Prestasi sejati tidak selalu perlu diumumkan lebih dulu. Dan bahwa dunia akademik Indonesia masih memiliki harapan, selama keteladanan tetap dijaga dalam diam, dalam laku, dan dalam kesetiaan pada ilmu.
***
*) Oleh : Imam Mashudi Latif, S.Ag., M.H.I., Dosen Universitas Darul 'Ulum Jombang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |