TIMES JOMBANG, JOMBANG – Indonesia hari ini berada pada persimpangan penting sejarahnya. Di satu sisi, bangsa ini memiliki bonus demografi, kemajuan teknologi, serta peluang besar untuk menjadi kekuatan baru dunia.
Namun di sisi lain, kita juga menghadapi problem serius: merosotnya etika politik, krisis integritas pemimpin, polarisasi sosial, dan ancaman disintegrasi akibat penyalahgunaan isu identitas.
Beberapa hari terakhir, kita menyaksikan gelombang demonstrasi di berbagai daerah. Ribuan massa turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka. Namun, di balik semangat memperjuangkan keadilan itu, muncul potret yang memprihatinkan: gedung DPRD dibakar, fasilitas umum dirusak, dan bentrokan tak terhindarkan.
Di Jawa Timur, misalnya, aksi massa di Surabaya dan Malang berubah ricuh. Gedung DPRD dilempari batu, pos polisi dibakar, dan fasilitas publik menjadi korban amuk massa.
Menyampaikan aspirasi adalah hak konstitusional rakyat. Tetapi ketika cara penyampaiannya berubah menjadi kekerasan, yang muncul bukan solusi, melainkan luka baru. Aspirasi sejati tidak lahir dari bara api, melainkan dari suara yang jernih dan bermartabat.
Krisis Kepemimpinan dan Hilangnya Etika Publik
Akar dari gejolak hari ini tidak bisa dilepaskan dari krisis kepemimpinan moral. Rakyat marah karena merasa keadilan tidak ditegakkan, kebijakan publik hanya menguntungkan segelintir elit, sementara aspirasi mereka terpinggirkan. Jika pemerintah gagal menunjukkan kepekaan, maka ketidakpuasan akan terus melahirkan gelombang protes.
Di sisi lain, sebagian elite justru sibuk memainkan wacana kekuasaan. Mereka lupa bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Akibatnya, politik kehilangan ruh pengabdiannya.
Dalam kondisi penuh gejolak, diperlukan keterlibatan semua pihak. Pemerintah harus membuka telinga selebar-lebarnya. Aspirasi rakyat tidak boleh dianggap ancaman, melainkan energi untuk memperbaiki kebijakan. Aparat keamanan perlu mengedepankan pendekatan humanis, bukan represif, agar luka sosial tidak makin dalam.
Partai politik harus kembali pada fungsi ideologis: menjadi wadah pendidikan politik rakyat, bukan sekadar mesin elektoral. Dunia kampus dan kaum intelektual perlu menyumbangkan gagasan, memberi kritik konstruktif, dan menjaga rasionalitas publik agar tidak terjebak dalam arus provokasi.
Masyarakat sipil, termasuk ormas dan komunitas lokal, harus berperan meredam konflik, menyalurkan aspirasi dengan cara damai, dan memperkuat semangat kebersamaan. Demonstrasi boleh, bahkan penting, tetapi harus tetap dalam koridor konstitusi dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.
Menjaga Optimisme Kebangsaan
Meski situasi hari ini penuh kegelisahan, kita tidak boleh kehilangan optimisme. Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah perjuangan melawan penindasan dan krisis yang silih berganti. Dari masa kolonial hingga era reformasi, rakyat Indonesia selalu mampu bangkit dengan semangat persatuan.
Optimisme itu harus kita rawat. Caranya adalah dengan memperkuat dialog, menumbuhkan rasa saling percaya, dan menegakkan etika publik. Bangsa ini tidak akan besar jika setiap kelompok hanya sibuk mempertahankan ego. Kita perlu mengingat kembali bahwa Indonesia adalah rumah bersama yang hanya bisa berdiri kokoh bila dijaga dengan kebersamaan.
Saya percaya bahwa perubahan selalu dimulai dari kesadaran kolektif. Tidak ada bangsa yang maju jika rakyatnya hanya menunggu uluran tangan pemimpin, dan tidak ada pemimpin yang kuat jika rakyatnya terus terpecah.
Demonstrasi, kritik, dan protes adalah bagian dari demokrasi. Namun jangan biarkan cara kita menyampaikan aspirasi justru menghancurkan fondasi kebangsaan. Negara harus mendengar ketika rakyat bicara, sebab dari suara rakyatlah legitimasi kepemimpinan lahir.
Indonesia bukan sekadar nama, ia adalah cita-cita. Dan cita-cita itu hanya bisa terwujud jika kita semua, dengan peran masing-masing, bersatu untuk merawatnya.
***
*) Oleh : Aris Setiawan, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Urwatul Wutsqo-Jombang, Alumni PMII.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |