TIMES JOMBANG, JOMBANG – Hujan sering datang tanpa permisi. Ia turun begitu saja membasahi jalan, menunda perjalanan, dan memaksa manusia berhenti dari kesibukan yang terus dikejar.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, hujan menjadi pengingat bahwa tidak semua hal berada di bawah kendali kita. Kadang-kadang, alam perlu mengambil alih untuk membuat manusia belajar satu hal penting: kesabaran.
Tak ada yang benar-benar bisa bergegas ketika hujan turun. Jalanan macet, bus datang terlambat, dan acara yang direncanakan rapi bisa berubah menjadi kacau. Namun di balik rasa jengkel itu, ada pelajaran yang pelan-pelan meresap: hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Hujan memaksa kita melambat, menunggu, dan menerima keadaan apa adanya.
Sebagian orang memandang hujan sebagai gangguan. Tapi justru pada momen-momen tidak nyaman itu, kesabaran diuji dan dibentuk. Ketika menunggu hujan mereda, ketika harus berhenti berteduh, atau ketika baju sudah telanjur basah di situlah jiwa dilatih untuk tetap tenang, tetap waras, tetap mampu melihat sisi baik dari sesuatu yang tidak kita sukai.
Kita sering merasa menjadi pusat dunia, seolah semua harus berjalan sesuai ritme kita. Padahal hujan mengajarkan sebaliknya: bahwa ada kekuatan di luar diri yang punya ritme jauh lebih besar.
Menyadari kenyataan itu membantu kita memahami pentingnya menerima proses, bukan hanya hasil. Kesabaran tumbuh dari kesadaran bahwa setiap hal berjalan pada waktunya.
Apa yang kita pelajari dari hujan sejatinya juga berlaku dalam perjalanan hidup kita. Hujan selalu datang tanpa meminta izin. Ia tidak menunggu kita selesai beraktivitas, tidak menunggu langit cerah, dan tidak menunggu waktu yang tepat menurut manusia. Dari situ, kita diingatkan bahwa hidup pun berjalan dengan ritmenya sendiri kadang sesuai harapan, kadang sama sekali tidak.
Kita tidak selalu bisa memilih kapan sebuah peristiwa terjadi. Kita tidak selalu mampu menciptakan keadaan yang ideal. Kita selalu memiliki ruang untuk menentukan sikap: apakah kita akan mengeluh, atau menerima dengan kesadaran; apakah kita akan berhenti, atau tetap melangkah dengan penyesuaian.
Dengan caranya yang sunyi dan lembut, hujan mengajarkan keteguhan hati. Ia turun tanpa protes, meresap perlahan, dan pada akhirnya memberi kehidupan.
Dari hujan kita belajar bahwa kesabaran bukan tentang menunggu dalam diam semata, tetapi tentang menjaga ketenangan hati tanpa keluh berlebihan dan tanpa menyalahkan keadaan hingga waktu yang tepat akhirnya datang.
Anehnya, setelah kesabaran itu hadir, hujan yang tadinya terasa menyebalkan bisa berubah menjadi pemandangan yang menenangkan. Rintik-rintiknya menghadirkan keteduhan, aroma tanah basah membawa rasa damai, dan langit yang buram justru membuat kita merasa hangat.
Di titik itu, kita sadar bahwa kesabaran bukan hanya tentang menahan diri, tetapi juga tentang menemukan keindahan baru dalam hal-hal yang awalnya kita tolak. (*)
***
*) Oleh : Imam Mashudi Latif, S.Ag., M.H.I., Dosen Universitas Darul 'Ulum Jombang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |