TIMES JOMBANG, JOMBANG – Begitu pintu Gedung Kesenian Jombang terbuka, gelombang antusiasme segera terasa. Penonton dari berbagai generasi berdatangan, memenuhi kursi-kursi pertunjukan. Semua mata tertuju pada "Darpana", pementasan ke-44 Komunitas TomboAti yang sekaligus merayakan usia ke-29 komunitas teater legendaris di Jombang ini.
Bisik-bisik penasaran terdengar di antara penonton. "Katanya ini kisah keluarga, tapi kayak kerajaan?" tanya seorang remaja di deretan belakang, menebak-nebak jalan cerita dari lembar panduan yang dibagikan panitia.
Sesaat kemudian, lampu panggung meredup. Musik mengalun. Pemandu acara tampil membuka pertunjukan, dan penonton seketika diam, larut dalam suasana penuh rasa ingin tahu.
Tirai panggung terbuka, menampilkan sebuah istana megah dengan kursi singgasana berhiaskan cermin raksasa. Para pemain berkostum pewayangan berdialog bak tokoh dari epos Ramayana.
Di tengah kemegahan itu, muncul sosok kocak Kidang Alit yang diperankan oleh komedian Moh. Shuluhil Amin alias Cak Ukil. Dengan gaya dagelannya yang khas, Cak Ukil menjadi pemecah suasana, menyelipkan tawa di antara percakapan simbolik yang sarat makna.
Namun di balik kelucuan dan dekorasi megah, tersimpan narasi mendalam. Istana itu, ternyata hanyalah ilusi dalam pikiran Aryo – kepala keluarga yang menolak berdamai dengan kenyataan bahwa masa kejayaannya telah usai. Tak sanggup menerima kenyataan, Aryo menciptakan dunia fantasi dan menyebut dirinya Raja Dasamuka. Istri, anak, dan pembantunya pun "dipaksa" masuk ke dalam lakon delusi sebagai Dewi Sinta, Trijata, hingga Prahasta.
“Darpana adalah gambaran manusia yang terjebak dalam masa lalu. Aryo dulunya tokoh besar. Tapi ketika kehilangan pengaruh, dia tidak siap kembali jadi orang biasa. Maka ia menciptakan dunianya sendiri,” jelas sutradara Imam Ghozali AR, usai pementasan, Sabtu (2/8/2025)
Imam mengungkapkan bahwa Darpana merupakan metafora dari kondisi psikologis yang dikenal sebagai post power syndrome. Puncak emosional pertunjukan pun terjadi ketika keluarga harus mengambil keputusan pahit: membawa Aryo ke rumah sakit jiwa demi keselamatan bersama.
“Darpana dalam bahasa Sanskerta berarti cermin. Ini bukan sekadar panggung hiburan. Ini adalah ruang refleksi, bahwa setiap dari kita bisa saja menjadi Aryo jika tak mampu berdamai dengan realita hidup,” imbuh Imam, yang juga baru saja memasuki masa purna tugas.
Naskah Darpana diadaptasi dari karya legendaris Nano Riantiarno berjudul Maaf, Maaf, Maaf. Namun sang penulis naskah, Fandi Ahmad, mengolah ulang kisah ini agar lebih kontekstual dengan kehidupan masyarakat masa kini.
“Struktur utama masih 60 persen dari naskah asli, tapi sisanya kami gubah sesuai zaman. Ini cerita yang fleksibel dan bisa bicara lintas generasi,” terang Fandi.
Uniknya, proses kreatif pertunjukan ini juga menjadi ruang terapi bagi para pelakunya. “Sutradara kami adalah pensiunan. Kisah Aryo juga tentang pensiunan. Proses ini jadi semacam katarsis emosional, bukan cuma buat penonton tapi juga kami yang terlibat,” tambah Fandi.
Selama dua jam, penonton diajak menelusuri emosi: dari tawa, haru, hingga kontemplasi. Visual panggung yang detail, pengolahan musik yang menyatu, serta dialog yang tajam menjadikan Darpanatak sekadar teater, tapi cermin kolektif untuk melihat diri sendiri.
Tepuk tangan panjang menutup pertunjukan. Tapi lebih dari itu, Darpana meninggalkan jejak yang mendalam, tatapan-tatapan diam dari penonton yang perlahan meninggalkan gedung, seolah pertunjukan belum benar-benar usai di hati mereka.
Sebagai informasi, pementasan Darpana digelar pada 1–3 Agustus 2025 dalam empat sesi di Gedung Kesenian Jombang, Jalan Kusuma Bangsa, Desa Sengon, Kecamatan Jombang. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: ‘Darpana’ Ketika Panggung Teater Menjadi Cermin Jiwa di Jombang
Pewarta | : Rohmadi |
Editor | : Deasy Mayasari |